Narasi

Nikmat yang terlupakan

Petang disambut oleh malam. Sepotong kue terang bulan, alias martabak manis, tersaji di tengah-tengah kami. Sekedar nongkrong dan bercengkrama adalah kegiatan asyik yang tidak ingin saya lewatkan. Jika ada kesempatan, saya selalu ikut hadir, dengan siapapun itu. Seringkali ada kisah menarik yang dapat saya petik di sela-sela guraunya.

Mangga, kang, kuehnya,” ucap teman saya, kang Haris. Beliau adalah pegawai di sebuah pabrik bilangan Cimahi.

“Siap kang, ditampi,” jawab saya sambil menyobek sepotong kue. Ditampi artinya “diterima”. Sebuah kata yang diucapkan saat mengambil ketika ditawarkan sesuatu dalam budaya Sunda. “Hari ini libur kang?” sambung saya sambil mengunyah terang bulan coklat.

“Iya, libur, kemarin sudah kerja pulang jam 7 pagi,” jawabnya.

Sebagai pekerja pabrikan, beliau memiliki dua shift berbeda setiap harinya. Di hari pertama beliau masuk jam 11:30 malam dan pulang jam 7 pagi, kemudian disambung untuk hari keduanya dengan masuk jam 6:30 sore dan pulang jam 2 pagi. Setiap dua minggu sekali beliau harus masuk di hari Sabtu untuk bekerja selama 5 jam. Luar biasa. Padahal beliau terkadang menyempatkan diri untuk narik ojek online. Belum lagi harus mengurus anak di rumah.

“Luar biasa memang akang ini,” sahut saya memuji kegigihan beliau.

“Ah, biasa saja kang,” jawabnya seraya mengambil sepotong kue dan mengunyahnya. Kami diselimuti hening kenyamanan sejenak. “Kadang kita itu suka lupa sama nikmat yang dikasih,” celetuk kang Haris.

“Hm? Nikmat yang dikasih? Apa gitu, kang?” saya terhenyak.

“Nikmat sehat, sama nikmat waktu luang, kang,” ucapnya sambil menatap langit-langit. “Seringkali kalau sehat, kita biasa-biasa aja. Aktivitas dijabanin. Tapi pas sakit, mau ke mana-mana susah, mau ketemuan gini juga susah, mau bangun aja susah, padahal pengen banget. Terus yang satu lagi, waktu luang. Kalau waktu pas lagi sibuk-sibuknya, sibuk banget sampai pusing harus gimana. Padahal pas ada waktu luang, buka-buka hape, tapi lupa itu teh nikmat. Bisa ketemuan seperti ini di waktu yang luang, adalah nikmat.”

Saya tertegun. Mengangguk pelan dan mengamini kalimat beliau. Terlebih beliau adalah orang yang super sibuk demi menghidupi keluarga, yang disampaikannya begitu menghujam ke hati saya. Selama ini saya memiliki waktu luang, namun dipakai untuk apa? Tidakkah saya mensyukurinya? Bisa menghirup udara segar dan menikmati momen saat ini, apakah saya lupa untuk mensyukurinya?

“Subhanallah sekali kang,” sambut saya pelan.

Uap dari cangkir-cangkir teh membumbung menari-nari. Suara jangkrik menjadi musiknya. Malam ini sungguh, sungguh nikmat.

X
%d bloggers like this: